Saturday, November 15, 2008

Boondock Saints (1999)


Franchise Pictures


Genre : Action


Durasi : 110 menit

Sutradara : Troy Duffy

Pemain :
Sean Patrick Flanery sebagai Connor McManus
Norman Reedus sebagai Murphy McManus
David Della Rocco sebagai David Della Roc
Billy Connolly sebagai Il Duce
Willem Dafoe sebagai Paul Smecker

Rating : R (MPAA) untuk kekerasan, bahasa, dan materi seksualitas

Tanggal Rilis : 4 Agustus 1999 (rilis pertama di Munchen Fantasy Filmfest - Jerman)

Layak Tonton : 5 (dalam skala 1 – 5)

Ada 2 hal menarik dari film ini.
Hal pertama adalah tema yang diangkat yaitu bagaimana seseorang melakukan hal yang dilarang agamanya, tetapi dengan alasan agama. Dalam film ini, perintah “kasihilah musuhmu” tidak berlaku. Bintang utama malah membunuh para gembong kejahatan untuk memurnikan komunitas mereka sehingga yang baik dapat muncul keluar. Ya, sekali lagi, tema besarnya adalah kebaikan melawan kejahatan. Tetapi motif di belakangnya berbeda. Mungkin ini mirip dengan latar belakang “Perang Salib” jaman dulu. Atau kalau mengaitkannya dengan saat ini, ada sebuah film lain yaitu “Paradise Now” yang menceritakan tentang pelaku bom bunuh diri Palestina. Dengan mengambil judul “Saints”, kita diperhadapkan apakah mereka yang melawan kejahatan dengan kejahatan layak disebut sebagai “orang kudus”? Film ini juga mengetengahkan bagaimana sebenarnya masyarakat dapat menerima efek yang kelompok ini timbulkan. Dengan dibunuhnya para gembong kejahatan, maka masyarakat dapat dengan tenang melakukan aktifitas mereka.
Hal kedua yang menarik dari film ini adalah bagaimana eksekusi adegan dilakukan. Bila diibaratkan makanan, maka ia adalah sebuah sate dengan isi beraneka ragam. Setiap adegan dipotong sesuai keperluan, dirangkaikan, dan disajikan lewat proses yang matang. Kadang kala beberapa adegan diakhiri dengan sesuatu hal yang dapat membuat kita tersenyum – atau bahkan tertawa. Belum lagi pilihan aktor senior Willem Dafoe yang selama ini sering bermain menjadi peran yang tangguh, kasar, dsb di film ini menjadi seseorang yang sangat flamboyan, menyenangi musik klasik, dan begitu ekspresif. Tentu saja kita tidak dapat mengesampingkan permainan akting aktor lainnya. Dua bintang utama film, Sean Patrick Flanery dan Norman Reedus, sebenarnya lebih banyak bermain untuk serial tv di Amerika. Kemudian David Della Rocco bisa dikatakan bukan seorang bintang film apabila kita melihat minimnya ia bermain. Yang mungkin dapat dikatakan senior adalah Willem Dafoe dan Billy Connolly yang sarat pengalaman. Walau demikian, film ini punya tempat di kalangan penggemar film. Memang tidak banyak orang yang menggemari film ini tetapi ia sudah ditempatkan sebagai “cult movie” yang punya segmen tersendiri. Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam waktu dekat kita akan dapat menyaksikan sekuelnya yang berjudul “Boondock Saints 2: All Saints Day“. Rencananya film ini akan dirilis pada tahun 2009 dengan pemeran utama yang masih sama.

In Nomeni Patri - Et Fili - Spiritus Sancti

Wednesday, October 15, 2008

Voces Inocentes (2004)


(Innocent Voices - English Title)


Lawrence Bender Productions

Genre : Drama - Perang

Durasi : 120 menit

Sutradara : Luis Mandoki

Pemain :
Carlos Padilla sebagai Chava
Leonor Varela sebagai Kella
Gustavo Munoz sebagai Ancha
Jose Maria Yazpik sebagai Uncle Beto

Tanggal Rilis : 28 Januari 2005 - Mexico

Award :
2006 – Premios ACE
Memenangkan “Premio ACE” untuk “Cinema – Best Supporting Actress”

2005 – RiverRun International Film Festival
Memenangkan “Jury Prize” untuk “Best Feature Film”

2005 – San Diego Film Critics Society Awards
Memenangkan “SDFCS Award” untuk “Best Foreign Film”

2005 – Satellite Awards
Memenangkan “Satellite Award” untuk “Outstanding Motion Picture, Foreign Film”

2005 – Seattle International Film Festival
Memenangkan “Golden Space Needle Award” untuk “Best Film”

2005 – Tromso International Film Festival
Memenangkan “Audience Award” untuk “Best Film”

2005 – Ariel Awards, Mexico
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Make-Up”
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Special Effects”
Menang “Silver Ariel” untuk “Best Supporting Actress”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Actress”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Art Direction”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Cinematography”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Direction”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Editing”
Nominasi “Silver Ariel” untuk “Best Sound”
Nominasi “Golden Ariel”

2005 – Bangkok International Film Festival
Nominasi “Golden Kinnaree Award” untuk “Best Film”

2005 – Berlin International Film Festival
Memenangkan “Crystal Bear” untuk “14plus: Best Feature Film”

2005 – Heartland Film Festival
Memenangkan “Crystal Heart Award”

2005 – National Board of Review, USA
Memenangkan “Freedom of Expression Award”

2005 – PGA Awards
Memenangkan “Stanley Kramer Award”


Rating : Dewasa – untuk bahasa yang kasar dan kekerasan

Layak ditonton : 5 (skala 1-5)


Melihat film ini saya teringat pada beberapa film sejenis dimana anak-anak menjadi korban perang. Mulai dari Blood Diamond, Hotel Rwanda, sampai Battle for Haraditha. Semua menceritakan bagaimana anak-anak dengan kepolosan mereka menjadi keganasan para orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindung. Lebih parah lagi, anak-anak ini bahkan dilatih untuk menyerang satu sama lain tanpa belas kasihan.

Penghargaan 12 kemenangan dan 9 nominasi menandakan dunia masih menaruh perhatian pada masalah ini. Lewat film ini, orang-orang akan semakin terbuka matanya dan diharap sadar bahwa anak-anak tidak seharusnya dilibatkan dalam sebuah konflik. Jangan atas nama nasionalisme atau isme lainnya, mereka kehilangan masa-masa indah bermain dan menimba ilmu. Biarkan mereka menikmati masa kecilnya dan belajar sehingga ketika besar, mereka dapat membuat masa depan yang lebih baik bagi bumi ini.

Tuesday, September 30, 2008

Death Defying Act (2007)


Australian Film Finance Corporation (AFFC)
Genre : Drama
Durasi : 97 menit
Sutradara : Gillian Armstrong
Pemain :
Catherine Zeta-Jones sebagai Mary McGarvie
Guy Pearce sebagai Harry Houdini
Saoirse Ronan sebagai Benji McGarvie
Penghargaan :
Teen Choice Award 2008 – memenangkan Teen Choice Award untuk kategori “Choice Summer Movie: Comedy”
Rating : PG (USA) untuk sensualitas, kekerasan verbal dan fisik, dan merokok
Tanggal Rilis : 13 Maret 2008 (Australia)
Layak Tonton : 3 (dalam skala 1 – 5)

Apa yang menarik dari film ini? Buat saya, hal pertama adalah Catherine Zeta-Jones yang terakhir saya lihat berakting dalam “The Legend of Zorro” (2004). Yang kedua adalah film ini mengangkat cerita lain dari Harry Houdini. Selain itu? Agak susah mencari alasan mengapa saya mau menonton film ini untuk kedua kalinya.
Film yang disutradarai oleh sutradara wanita asal Australia ini memang cukup mengalir. Tetapi di beberapa adegan, ada grafik stagnan yang dapat membuat kita merasa kursi bioskop lebih nyaman dinikmati dengan mata terpejam (bahkan kecantikan Catherine tidak dapat mengalahkan paduan kursi yang empuk dan ac yang dingin).

Walau demikian, cerita mengenai kehidupan pesulap memang selalu menarik perhatian saya. Kali ini Harry Houdini, sang master melarikan diri, mencari kata terakhir yang diucapkan ibunya sewaktu meninggal. Hal ini dilakukannya karena pada saat itu Houdini tidak dapat mendampingi ibunya menjemput maut. Dengan menawarkan sejumlah uang, ia menantang para ahli supranatural untuk dapat menguak rahasia tersebut. Alih-alih berhasil, usaha para ahli itu malah menjadi bumerang bagi mereka. Houdini berhasil memecahkan trik yang dipakai para “dukun” dan itu membuatnya bertambah apatis. Dalam perjalan terakhir Houdini, Mary McGarvie dan Benji mencoba menemuinya. Mereka menyatakan dapat membantu Houdini mencari kata terakhir sang ibu sekaligus memenangkan hadiah uang yang telah dijanjikan.
Apakah ibu dan anak itu berhasil membantu Houdini? Film yang tidak terlalu panjang ini menyuguhkan ending yang cukup mengejutkan dan sayang kalau kita tertidur dan melewatkannya.

Kalau boleh membandingkan, saya langsung teringat pada film “The Prestige” (2006) yang dibintangi Hugh Jackman dan Christian Bale dengan durasi lebih panjang 33 menit. Bagi saya, pertempuran 2 orang pesulap yang dilandasi balas dendam lebih menarik daripada bumbu percintaan. Atau, mungkinkah karena “The Prestige” punya landasan yang “kuat”? “The Prestige” adalah hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya penulis Inggris Christopher Priest. Novel terbitan tahun 1995 ini sendiri mendapat “James Tait Black Memorial Prize” untuk fiksi terbaik serta novel terbaik dari “World Fantasy Award”. ….mmmm…. sepertinya alasan pertama lebih masuk akal.

Get Smart (2008)

Warner Bros Pictures
Genre : Komedi Aksi
Durasi : 110 menit
Sutradara : Peter Segal
Pemain :
Steve Carell sebagai Maxwell Smart
Anne Hathaway sebagai Agent 99
Dwayne Johnson sebagai Agent 23
Penghargaan :
Teen Choice Award 2008 – memenangkan Teen Choice Award untuk kategori “Choice Summer Movie: Comedy”
Rating : PG-13 (USA) untuk humor yang kasar dan kekerasan fisik serta verbal.
Tanggal Rilis : 19 Juni 2008
Layak Tonton : 3 (dalam skala 1 – 5)

Melihat dari poster yang dirilis, pikiran saya langsung terbayang kelucuan Rowan Atkinskon dalam film “Johnny English” (2003) atau Leslie Nielsen dalam “Naked Gun”. Tetapi apa yang saya dapatkan ternyata tidak demikian. Film ini adalah sebuah komedi yang tidak terlalu mengumbar kelakuan konyol dimana-mana. Beberapa hal yang lucu justru didapat dari permainan dialog antar pemain. Bisa dikatakan inilah film “plesetan cerdas” dari genre spy movie.
Film yang merupakan re-make dari serial tv dengan judul yang sama ini sebenarnya bukanlah yang pertama mencoba mengikut sukses serial pertamanya. Tercatat sebelum film ini ada versi theater yang berjudul “The Nude Bomb” (1980) dan film untuk tv “Get Smart, Again” (1989). Dari dua judul di atas, yang cukup berhasil adalah “Get Smart, Again”. Bahkan Fox TV mencoba membuat serial dengan judul “Get Smart” di tahun 1995 untuk mengikuti kesuksesan itu. Sayangnya serial tersebut tidak berumur panjang. Karena itu dapat dibayangkan film ini “menanggung” beban yang cukup berat. Grafik naik turun animo penonton bisa saja membuat film ini tidak laku di pasaran. Untungnya dari penghargaan yang ia dapat dalam Teen Choice Award, film ini dapat diterima publik dan bahkan direkomendasikan untuk ditonton. Karena itu tidak heran kalau kita dapat menyaksikan spin-off dari film ini yang berjudul “Get Smart’s Bruce and Lloyd: Out of Control”.

Kesuksesan “Get Smart” tidak terlepas dari tangan dingin sang sutradara. Peter Segal adalah sutradara yang kerap menangani film jenis ini. Kita bisa lihat hasil karyanya dalam “Naked Gun 33 1/3” The Final Insult” (2004) dan “Nutty Professor II: The Klumps” (2000). Selain itu ia juga menyutradarai “Anger Management” (2003).
Akting Steve Carell juga cukup dingin sehingga kesan tokoh agen rahasia cukup sukses dijalankannya (sekali lagi seperti Rowan Atkinson atau Leslie Nielsen dalam film-filmnya). Berbeda saat ia memerankan Evan Baxter dalam “Evan Almighty” (2007) yang cenderung mengeksplor emosinya, dalam film ini ia harus tampil selalu rapi dengan jas dan sedikit kaku. Sementara Anne Hathaway cukup luwes dalam mengimbangi peran Steve Carell walau ia lebih banyak bermain dalam film drama seperti “Brokeback Mountain” (2005) atau “The Devil Wears Prada” (2006).
Secara keseluruhan, film ini memang layak untuk ditonton. Bagi mereka yang mengoleksi “Naked Gun” dan “Johnny English” tentu saja “Get Smart” harus ditambahkan dalam lemari koleksi. Sayangnya ada sedikit adegan yang cukup mengganggu saya yaitu saat Carell dan Hathaway harus melintasi ruangan penuh jebakan laser. Cara mereka melewatinya sangat mirip dengan adegan Catherine Zeta Jones dalam film “Entrapment” (1999).

Thursday, August 28, 2008

West Side Story (1961)

United Artists

Genre : Musical and Performing Arts

Durasi : 152 menit

Sutradara : Jerome Robins dan Robert Wise

Pemain :
Natalie Wood sebagai Maria
Richard Beymer sebagai Tony
Russ Tamblyn sebagai Riff
Rita Moreno sebagai Anita
George Chakiris sebagai Bernardo

Penghargaan :
Academy Award 1962 – Memenangkan 10 Oscar dalam kategori
Best Director
Best Picture
Best Supporting Actor
Best Supporting Actress
Best Art Direction
Best Cinematography
Costume Design
Film Editing
Original Music Score of a Musical Picture
Sound

Rating : Approved (Amerika)
PG (Australia)


Film West Side Story adalah sebuah adaptasi dari drama Broadway dengan judul yang sama. Drama West Side Story sendiri merupakan adaptasi Rome dan Juliet karya William Shakespeare. Karena itu tidak mengherankan bagaimana di sini muncul dua kelompok yang berseteru dengan sepasang kekasih yang terjebak diantaranya.

Dalam film ini, kita akan dibawa menyaksikan permusuhan dua kelompok rasial yaitu The Jets (anggotanya dari ras Kaukasia) melawan The Sharks (anggotanya dari Puerto Rico), yang berlangsung di jalanan kota New York. Tema rasial ini sepertinya memang sengaja diangkat karena memang pada tahun tersebut, isu rasial sedang menghangat di Amerika Serikat.

Film yang sarat dengan pertunjukan seni (performing arts) dan bumbu isu rasial ini bercerita dengan sangat lugas. Pada adegan awal, kita langsung dihadapkan pada “perkelahian” The Jets melawan The Sharks. Kemudian kita akan diperkenalkan pada para tokoh kunci seperti pemimpin The Jets – Riff dan pemimpin The Sharks – Bernardo. Sang “Romeo” dalam film ini adalah Tony - salah satu pendiri The Jets yang telah keluar dari kelompok tersebut dan juga sahabat Riff. Sedangkan “Juliet”nya adalah adik Bernardo yaitu Maria. Walau kelanjutan cerita dapat ditebak, hal itu tidak menjadi masalah karena kita akan sangat dimanjakan dengan gerakan tari dan musik yang memesona sepanjang film. Hal ini tidak lepas dari kepiawaian komposer Leonard Bernstein yang juga dikenal sebagai konduktor untuk New York Philharmonic.

Catatan akhir, peran Tony awalnya ditawarkan kepada Elvis Presley yang kemudian ditolak oleh manajernya. Setelah memenangi 10 Oscar, Elvis menyesali keputusan tersebut. Selain prestasi 10 Oscar, West Side Story juga tercatat sebagai film nomor 2 dengan pemasukan kotor terbesar. Peringkat pertama ditempati film “One Hundred and One Dalmatians” dari Disney sedangkan peringkat ketiga ditempati “The Guns of Navarone” dari Columbia.

Friday, August 15, 2008

Goodbye Lenin! (2003)


X-Filme Creative Pool

Genre : Drama

Durasi : 121 menit

Sutradara : Wolfgang Becker

Pemain :
Daniel Bruhl sebagai Alexander “Alex” Kemer
Katrin Sass sebagai Christine Kemer
Maria Simon sebagai Ariane Kemer
Chulpan Khamatova sebagai Lara

Tanggal Rilis : 13 Februari 2003 – Jerman

Award :
2005 – Silver Condor
Nominasi “Silver Condor” untuk “Best Foreign Film, Not in the Spanis Language”

2005 – Golden Trailer Awards
Nominasi “Best Foreign Independent”

2004 – Guldbagge Awards
Nominasi “Best Foreign Film”

2004 – Sant Jordi Awards
Memenangkan “Audience Award” untuk kategori “Best Foreign Film”

2004 – Turia Awards
Memenangkan “Audience Award” untuk “Best Foreign Language Film”

2004 – U.S. Comedy Arts Festival
Memenangkan “Film Discovery Jury Award” untuk “Best Foreign Language Film”

2004 – Italian National Syndicate of Film Journalists
Nominasi “Silver Ribbon” untuk “Best Director – Foreign Film”

2004 – London Critics Circle Film Awards
Memenangkan “ALFS Award” untuk kategori “Foreign Language Film of The Year”

2004 – Robert Festival
Memenangkan “Robert Award” untuk kategori “Best Non-American Film”

2004 – Goya Awards
Memenangkan “Best European Film”

2004 – BAFTA Awards
Nominasi “BAFTA Film Award” untuk “Best Film not in the English Language”

2004 – Bavarian Film Awards
Memenangkan “Audience Award”

2004 – Bodil Awards
Memenangkan “Best Non-American Film”

2004 – Cesar Awards
Memenangkan “Best European Union Film”

2004 – Directors Guild of Great Britain
Memenangkan “Outstanding Directorial Achievement in Foreign Language Film”

2004 – David di Donatello Awards
Nominasi “Best European Film”

2004 – German Camera Award
Nominasi “Feature Film”

2004 – Golden Globes, Amerika
Nominasi untuk “Best Foreign Language Film”

2003 – Guild of German Art House Cinemas
Memenangkan “Guild Film Award – Gold” untuk kategori “German Film”

2003 – Bambi Awards
Memenangkan “Bambi Award” untuk “Film – Nasional”

2003 – Berlin International Film Festival
Nominasi “Golden Berlin Bear Award”
Memenangkan “Blue Angel Award”

2003 – Valladolid International Film Festival
Memenangkan “Jury Special Prize”
Nominasi “Golden Spike Award”

2003 – Euregio Filmball
Memenangkan “People’s Award”

2003 – European Film Awards
Nominasi “Best Actress” dan “Best Director” dalam European Film Award
Memenangkan “Best Actor”, “Best Actress” dan “Best Director” dalam Audience Award
Memenangkan “Best Actor”, “Best Film”, dan “Best Screenwriter” dalam European Film Award

2003 – Flaino Film Festival
Memenangkan “Best Foreign Film”

2003 – European Film Awards
Nominasi “European Film Award” untuk “Best Actress” dan “Best Director”
Memenangkan “Audience Award” untuk “Best Actor”, “Best Actress” dan “Best Director”
Memenangkan “European Film Award” untuk “Best Actor”, “Best Film”, dan “Best Screenwriter”

2003 – German Film Award
Memenangkan “Audience Award” untuk “German Film of The Year”
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Feature Film”
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement “ untuk Actor oleh Daniel Bruhl
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Direction oleh Wolfgang Becker
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Editing oleh Peter R. Adam
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Music oleh Yann Tiersen
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Production Design oleh Lothar Holler
Memenangkan “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Supporting Actor oleh Florian Lukas
Nominasi “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Actress oleh Katrin Sass
Nominasi “Film Award in Gold” dalam “Outstanding Individual Achievement” untuk Supporting Actress oleh Maria Simon

2003 – Goldern Screen, Jerman
Memenangkan “Golden Screen”

2002 – German Screenplay Award
Memenangkan “Screenplay Award”

Rating : Dewasa – untuk bahasa yang kasar dan seksualitas

Layak ditonton : 5 (skala 1-5)


Sebuah film yang bercerita mengenai efek Tembok Berlin. Bukan dilihat dari sejarah, tetapi dalam kehidupan personal mereka yang tinggal di wilayah Timur.
Seorang ibu harus membesarkan kedua anaknya seorang diri karena ditinggal suaminya yang menyeberang ke Jerman Barat. Ia pun menjadi pendukung Sosialis yang mendapat banyak penghargaan dari pemerintah. Ketika melihat anaknya ikut dalam demo menentang pemerintah, ia pun mengalami serangan jantung yang sangat hebat. Hal itu menyebabkannya koma selama 8 bulan. Dokter berpesan kepada kedua anaknya kalau sang ibu bangun, maka mereka tidak boleh memberi kabar yang dapat membuat sang ibu shock kembali.
Waktu berjalan dan Tembok Berlin pun runtuh. Sang ibu akhirnya sadar dari komanya tanpa mengetahui bahwa kedua Jerman telah bersatu. Demi menjaga agar sang ibu tidak shock, maka kedua anaknya berusaha sedapat mungkin menyembunyikan fakta tersebut. Mereka berupaya agar ibunya tetap melihat bahwa Jerman Timur tetap ada. Mampukah kedua anak itu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya?

Film ini begitu banyak diapresiasi dalam Festival Film Internasional. Tidak kurang dari 31 penghargaan dan 14 nominasi diraih dalam kurun waktu 2003 – 2005. Film ini mempunyai kekuatan pada cerita yang diangkat dan juga adegan yang begitu mengalir sehingga kita tidak bosan menontonnya (walau berdurasi 2 jam-an). Satu hal yang menarik bagi saya adalah bagaimana sebuah kisah yang dapat dikatakan tragis dapat diangkat tanpa membuat mata kita terus berkaca-kaca. Padahal kalau film ini mau didramatisir, sang sutradara - Wolfgang Becker – akan sangat mudah melakukannya.

Thursday, August 7, 2008

Call Girl (2007)


Instituto do Cinema, Audiovisual e Multimedia (ICAM)

Genre : Drama

Durasi : 145 menit

Sutradara : Antonio-Pedro Casconcelos

Pemain :
Soraia Chaves sebagai Maria
Ivo Canelas sebagai Madeira
Joaquim de Almeida sebagai Mouros
Nicolau Breyner sebagai Carlos Meireles

Tanggal Rilis : 27 Desember 2007 – Portugal

Award :
2008 – Golden Globe – Memenangkan “Best Actor” untuk Ivo Canelas
Memenangkan “Best Actress” untuk Soraia Chaves
Memenangkan “Best Film”

Rating : Dewasa – dengan beberapa adegan telanjang dan kekerasan

Layak ditonton : 5 (skala 1-5)


Setiap orang ada kelemahannya. Termasuk Carlos Meireles – seorang walikota sebuah kota kecil dengan potensi besar di Portugal. Carlos tidak mengijinkan sebuah perusahaan membeli tanah di kotanya karena ia tahu akan terjadi perusakan besar-besaran terhadap lingkungan. Karena berbagai cara untuk merubah keputusan walikota selalu gagal, akhirnya perusahaan tersebut menyewa jasa Mouros yang memang terkenal untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Lewat investigasi, Mauros mendapati kelemahan sang walikota adalah perempuan. Dari hal tersebut, ia menyewa pelacur kelas atas yaitu Maria untuk dipersembahkan kepada sang walikota. Keadaan menjadi tidak terkendali ketika ternyata sang pelacur tidak bodoh dan polisi secara tidak sengaja mengetahui rencana penyuapan itu.

Film berbahasa Portugal ini cukup menarik untuk disimak. Satu hal yang menarik, sutradara dan para pemain utamanya cukup terkenal di Portugal dan bukan di Hollywood. Walau demikian, acting mereka layak diacungi jempol.
Kalau melihat film ini, saya pun teringat kasus para petinggi di negara kita. Bukan tidak mungkin cara yang sama telah dipraktekkan oleh beberapa perusahaan untuk memuluskan ekspansi bisnisnya. Mungkin ada sineas kita yang mau mengangkat tema ini – daripada hanya hantu atau komedi seks.

Pierrepoint : The Last Hangman (2005)


Big City Pictures

Genre : Drama

Durasi : 90 menit

Sutradara : Adrian Shergold

Pemain :
Timothy Spall sebagai Albert Pierrepoint
Juliet Stevenson sebagai Annie Pierrepoint
Eddie Marsan sebagai James “Tish” orbitt

Tanggal Rilis : 07 April 2006 – Inggris

Award :
2006 – Dinard British Film Festival – Memenangkan “Audience Award” untuk Adrian Shergold
Memenangkan “Silver Hitchcock” untuk Adrian Shergold

Rating : 5 (skala 1-5)


Albert Pierrepoint adalah seorang pemasok kebutuhan sehari-hari yang mempunyai pekerjaan lain yang ia rahasiakan – bahkan dari istrinya sendiri. Pekerjaan itu adalah menjadi seorang eksekutor hukuman gantung bagi pemerintah Inggris. Ia melakukan hal tersebut karena ayahnya juga adalah seorang eksekutor yang memiliki reputasi baik.
Film dimulai dari saat Pierrepoint dibriefing mengenai tugasnya. Saat itu, ia bersama dengan seorang eksekutor lain. Pada saat harus melakukan eksekusi pertama, ternyata hanya Pierrepoint yang sanggup mengatasi terror mental yang acap kali timbul dalam diri seorang eksekutor pada saat berhadapan dengan terpidana. Untuk itu, ia mempunyai satu sudut pandang tersendiri mengenai pekerjaannya tersebut.
Dalam menjadi eksekutor, Pierrepoint berusaha menjadi yang terbaik. Ia juga mencoba melampaui rekor yang dibuat ayahnya. Dengan caranya, ia mampu melewati rekor tersebut. Dan karena itu pula, ia dipanggil oleh pemeritah Inggris ke Jerman untuk mengeksekusi tawanan perang Nazi.
Di sinilah ia bekerja melebihi batas yang selama ini ia tahu. Karena itu pula, ketika ia kembali ke rumahnya di Inggris, semua orang memberi selamat kepadanya dan menganggap ia pahlawan.
Ketika keadaan mulai berubah, masyarakat pun memandang hukuman mati tidak lagi cocok diterapkan. Albert Pierrepoint mengalami terror dari masyarakat. Hal ini tentu saja membuatnya tertekan. Apalagi, ketika salah seorang yang ia kenal harus ia eksekusi. Apa yang harus ia lakukan?

Menonton film ini membuat saya kembali kepada film “Stephen King’s : The Green Mile” (1999) dengan Tom Hanks sebagai pemeran utamanya. Bedanya adalah kalau dalam “Green Mile” kita akan diperlihatkan penghukum dan terpidana, kalau dalam film ini justru kita akan lebih melihat karakter penghukumnya saja. Perbedaan lain juga pada karakter Tom Hanks yang menurut saya sangat baik memerankan Paul Edgecomb daripada Timothy Spall memerankan Albert Pierrepoint. Sebagai tambahan, Timothy Spall juga memerankan Peter Pettigrew dalam Harry Potter (The Deatly Hallows Part 1 – 2010, The Half Blood Prince – 2008, dan Goblet of Fire – 2005) Selan itu ia juga memerankan Beadle dalam Sweeney Todd (2007) dan Mr. Poe dalam Lemony Snicket’s A Series of Unfortunate Events (2004)

Menonton film yang berdasar atas cerita nyata ini membuat saya bertanya satu hal. Apa yang anda lakukan ketika pekerjaan yang anda banggakan akhirnya membuat anda muak? Seringkali kita berhadapan dengan idealisme kita dan tuntutan hidup yang membuat kita harus memilih salah satu. Dan ketika saat itu tiba, kita tetap harus memilih apa yang harus kita jalani karena tidak mungkin kita menjalani keduanya.

Wednesday, July 30, 2008

Mad Money


Big City Pictures

Genre : Comedy

Durasi : 104 menit

Sutradara : Callie Khouri

Pemain :
Diane Keaton sebagai Bridget Cardigan
Katie Holmes sebagai Jackie Truman
Queen Latifah sebagai Nina Brewster

Tanggal Rilis : 18 Januari 2008

Rating : 4 (skala 1-5)


Kejahatan itu menular. Itulah pesan yang ingin dibawa oleh film ini.
Bridget harus menghadapi kenyataan bahwa pada suatu hari suaminya harus kehilangan pekerjaan. Dengan gaya hidup kelas atas dan tagihan yang harus dibayar, maka Bridgette mulai mencari pekerjaan. Berbagai hal ia coba sampai akhirnya ia dapat bertugas di Federal Reserve Bank pada bagian house keeping. Suatu tempat yang penuh dengan uang – tepat seperti yang ia butuhkan saat itu.
Dalam Federal Reserve Bank, ada satu bagian yang bertugas menghancurkan uang yang rusak. Dari sinilah ia mendapat inspirasi untuk menutup tagihan dan tetap berada pada status sosialnya. Bridget merancang cara untuk “memanfaatkan” uang tersebut dengan menulari beberapa orang yang dianggap potensial menjadi “partner in crime”nya.

Lalu, apakah hal itu melanggar hokum? Secara hukum, tidak ada yang ia curi dari pemerintah karena itu adalah uang yang sudah dianggap tidak ada. Walau demikian, tetap saja hal itu tidak benar. Dan Bridgette dan rekan-rekannya pun harus berhadapan dengan agen pemerintah.

“Mad Money” adalah sebuah film ringan. Hadirnya para aktris pemenang penghargaan mulai dari Oscar sampai Black Award membuat film ini tidak sulit untuk dicerna. Kecerdasan berperan Diane Keaton (pemenang Oscar untuk “Best Actress in a Leading Role” dalam film “Annie Hall” – 1977), Queen Latifah, serta Katie Holmes membuat film ini sangat cocok dinikmati di saat santai. Sang sutradara sendiri, Callie Khouri, adalah penulis naskah dan sutradara film “Divine Secrets of the Ya-Ya Sisterhood” (2002).

Tuesday, July 29, 2008


Joyeux Noel / Happy Christmas (2005)

Nord Ouest Production

Genre : Drama - Perang

Durasi : 116 menit

Sutradara : Christian Carion

Pemain :
Diane Kruger sebagai Anna Sorensen
Benno Furman sebagai Nikolaus Sprink
Guillaume Canet sebagai Letnan Audebert
Gary Lewis sebagai Palmer

Tanggal Rilis : 9 November 2005 di Perancis

Penghargaan :
2005 – Audience Award – Menang dalam “Best Feature” (Christian Carion)
2005 – FIPRESCI Prize – Menang untuk Christian Carion

2006 – Oscar – Nominasi dalam “Best Foreign Language Film of The Year”
2006 – BAFTA Film Award – Nominasi dalam “Best Film not in the English Language”
2006 – Cesar – Nominasi dalam “Best Costume Design”
“Best Film”
“Best Music Written for a Film
“Best Production Design”
“Best Supporting Actor”
“Bedt Writing – Original”
2006 – Golden Globe – Nominasi dalam “Best Foreign Language Film”

Rating : 5 (skala 1-5)


Adakah kedamaian di dalam perang? Apalagi kedamaian dari mereka yang sedang bertikai.

Ketika Perang Dunia Pertama baru dimulai, tiga negara berhadapan di wilayah Perancis. Di satu sisi Jerman berhadapan dengan Perancis yang dibantu Skotlandia. Pertempuran itu sama-sama membuat mental dan fisik keduanya terkuras.
Lalu datanglah malam Natal. Ketika itu kedua belah pihak, sesuai dengan tradisi dan bahasa masing-masing, merayakannya di tengah keheningan dan rasa takut. Suara yang mereka keluarkan masing-masing dapat didengar oleh pihak musuh. Dan hal yang unik pun terjadi. Akhirnya kedua belah pihak pun sepakat mengadakan gencatan senjata pada keesokan harinya untuk bersama-sama merayakan Natal.

Sayangnya, hal tersebut tidak berlangsung lebih lama. Ketika trompet perang kembali ditiup, mereka harus kembali bermusuhan. Di saat itulah rasa kemanusiaan datang menghampiri mereka.

Film ini yang terinspirasi dari kisah nyata ini mengangkat hal yang cukup jarang kita lihat dalam film perang. Di sini kita tidak harus melihat darah bercucuran, intrik-intrik di balik keputusan pimpinan, atau cinta sepasang kekasih saat perang membara. Kita justru melihat bagaimana musuh pun adalah manusia yang sama-sama memiliki rasa kasih. Dan rasa kasih itu dapat mengalahkan permusuhan. Ketika hati kita berbicara, apakah kita masih mau melanjutkan permusuhan itu?

Christian Carion sebagai sutradara cukup baik mengangkat tema ini. Walau demikian, sang sutradara tampaknya sedang menjalani puasa produksi karena setelah “Joyeux Noel”, belum ada lagi film yang ia sutradarai.
Satu catatan penting, dalam film yang dilarang di Malaysia ini, lagu menjadi hal utama yang diangkat. Karena itu, para pemain yang harus bernyanyi memiliki stunt khusus. Diane Kruger digantikan Natalie Dessay (seorang Soprano Perancis) sedangkan Benno Furman diganti oleh Rolando Villazon (seorang Tenor berkebangsaan Mexico).

Raja 1918 (2007)

Border Production
Durasi : 114 menit

Sutradara : Lauri Torhonen

Pemain :
Martin Bahne sebagai Carl von Muck
Minna Haapkyla sebagai Maaria Lintu
Tommi Korpela sebagai Heikki Kiljunen
Leonid Mozgovoy sebagai Major Gentsch

Tanggal Rilis : 30 November 2007

Rating : 4 (skala 1-5)


Setting film di sekitar tahun 1918 dimana Finlandia terbagi menjadi 2 dalam perang saudara. Kaum Merah yang didukung Rusia melawan Kaum Putih yang nasionalis. Kemenangan Kaum Putih di tahun 1918 membuat Kaum Merah harus tersingkir dan mengungsi ke Rusia – walau tidak sedikit yang masih mencoba untuk bertahan di negaranya. Keadaan ini lah yang direkam lewat film yang berdasar atas kisah nyata dari ayah produser Jorn Donner.

Seorang perwira bernama Carl von Muck dikirim untuk memimpin tentara yang bertugas di perbatasan. Pada awalnya kehidupan berjalan dengan baik. Perbatasan tidak terlalu menjadi hal yang susah untuk diawasi karena masyarakat di sana sudah terbiasa melintasi batas kedua negara. Mereka tinggal di area Finlandia dan bekerja di area Rusia atau sebaliknya. Sampai pada satu saat, pemerintah pusat meminta semua perbatasan dijaga ketat untuk menghindari kaburnya para pimpinan Kaum Merah dan juga menahan laju pengungsi Rusia karena kekacauan di negaranya.
Di tengah keadaa itu, von Muck pun menjalin hubungan dengan beberapa orang. Mulai hubungan cinta dengan seorang guru yang menjadi asistennya sampai pimpinan tentara perbatasan Rusia. Keadaan semakin runyam ketika ia mengetahui bahwa ternyata salah seorang pimpinan Kaum Merah ternyata sedang bersembunyi di daerahnya.

Satu hal yang menarik dari film ini adalah bagaimana dalam kondisi seperti di atas kita dapat mempercayai orang terdekat kita. Tidak mustahil mereka yang kita anggap musuh ternyata dapat menjadi sahabat dan mereka yang dekat kita malah bisa menjadi musuh dalam selimut.

Heroes and Villains (2008)
BBC
Durasi : @ 60 menit

Sutradara :
Attila The Hun - Gareth Edwards
Spartacus - Tim Dunn
Shogun - Arif Nurmohamed
Cortes - Andrew Grieve
Richard The Lionheart - Nick Green
Napoleon - Nick Murphy

Pemain :
Attila The Hun - Rory McCann
Spartacus - Anthony Flanagan
Shogun Tokugawa - James Saito
Hernan Cortes - Brian McCardie
Richard The Lionheart - Stephen Waddington
Napoleon - Tom Burke

Tanggal Rilis :
Attila The Hun - 2008
Spartacus - 29 Feb 2008
Shogun - 24 Mar 2008
Cortes - 15 Mar 2008
Richard The Lionheart - 22 Mar 2008
Napoleon - 12 Nov 2007

Rating : 5 (skala 1-5)


Sekali lagi BBC membuat film dokumenter yang bagus. “Heroes and Villains” adalah sebuah rekaman hidup mengenai 6 orang pejuang yang dicatat sejarah atas apa yang mereka lakukan. Ke enam orang tersebut adalah Spartacus dari Romawi, Attila The Hun, Shogun Tokugawa dari Jepang, Hernan Cortes dari Spanyol, Raja Richard dari Inggris, dan yang terakhir adalah Napoleon dari Perancis.

Lewat masing-masing peristiwa, sejarah mencatat mereka sebagai orang yang melakukan sesuatu yang berdampak besar, tidak hanya bagi perseorangan, tetapi juga bagi sebuah bangsa bahkan peradaban.
Sayangnya, walau kita dapat menyaksikan para tokoh tersebut dari berbagai bangsa, bahasa umum yang digunakan adalah bahasa Inggris. Hanya sedikit bahasa non Inggris dalam film ini. Padahal kita tahu bagaimana bangganya orang Jepang dengan bahasa mereka. Juga bagaimana sikap orang Prancis terhadap bahasa mereka. Walau demikian, film ini tetap sangat menarik untuk dinikmati. Apalagi setiap kisahnya memuat petikan kalimat yang dapat membuka wawasan dan cara pandang kita terhadap sesuatu.

Satu hal menarik yang dapat kita tarik dari film ini adalah “Apakah posisi tokoh ini bagi kita. Apakah ia seorang pahlawan (hero) atau malah penjahat (villain)?”
Lewat film ini, pertanyaan itu akan semakin mengambang dan tinggal kita mau berada di posisi yang mana pada saat melihat tindakan mereka.

The Ten (2007)

City Light Pictures
Durasi : 96 menit
Sutradara : David Wain
Pemain :
Paul Rudd (“Night At The Museum” sebagai Don) sebagai Jeff Reigert
Adam Brody (“The OC” sebagai Seth Cohen) sebagai Stephen Montgomery
Winona Ryder sebagai Kelly La Fonda
Ken Marino sebagai Dr. Glenn Richie
Jessica Alba sebagai Liz Ann Blazer

Tanggal Rilis : 19 Januari 2007 di Sundance Film Festival
Rating : 2 (skala 1-5)

Apa jadinya kalau sepuluh Hukum Taurat dijabarkan dalam sepuluh kisah dengan setting saat ini? Film The Ten mencoba mengangkat hal tersebut. Dari posternya saja, kita dapat melihat bahwa film ini bergenre komedi karena memplesetkan lukisan “Penciptaan Awal” Da Vinci . Walau demikian, ia bukan lah komedi untuk anak-anak. MPAA memasukkan film ini ke golongan “R” karena dialog, dan beberapa adegan telanjang, dan penggunaan obat terlarang.

Film pendek pertama adalah mengenai Stephen Montgomery yang lupa membawa parasut sewaktu terjun payung. Hal ini membuatnya tertanam di dalam tanah dan dari sini lah cerita-cerita lain berkembang. Mulai dari perselingkuhan pacarnya sampai dengan bagaimana akhir kisah cinta sang pacar yang cukup mengejutkan. Lalu ada juga cerita mengenai seorang penjaga perpustakaan dan seorang dokter yang sering membuat olok-olok dalam segala hal. Untuk menyelingi kesepuluh cerita tersebut, kehidupan narrator pun menjadi hal tersendiri yang membuat kita terus mau menonton sampai akhir. Satu hal yang perlu dicatat, sang narrator adalah Paul Rudd yang juga menjadi produser film ini. Wajah Paul Rudd mungkin dapat kita ingat dalam serial “Friends” sebagai Mike Hannigan. The Ten adalah film pertama yang ia produseri.

Menonton film ini seperti sedang membaca buku “….for dummies” yang dulu sempat populer. Sebuah hal yang berat dijabarkan dalam berbagai contoh yang ringan. Mungkin karena tema setiap film pendek yang cukup absurd, maka bisa jadi film ini belum tentu bisa diterima banyak pihak. Apakah anda dapat membayangkan bagaimana perintah “hormatilah hari Sabat” diangkat dengan cerita pesta telanjang para suami pada saat istri mereka pergi ke gereja? Atau “hormatilah ayah dan ibumu” diangkat dengan cerita sepasang anak kulit hitam yang lahir dari pasangan kulit putih? Ya, mungkin memang film ini adalah gambaran bagaimana beberapa pihak menganggap sah-sah saja membuat komedi dari sesuatu yang sakral. Satu hal, tampaknya film “The Ten” belum tentu dirilis di Indonesia karena dengan sangat jelas dapat menimbulkan polemik terutama di kalangan Kristen.

Tuesday, June 3, 2008

The Children of Huang Shi

Directed by : Roger Spottiswoode
Starring by :
Jonathan Rhys-Meyers
Radha Mitchell
Chow Yun-Fat
Michelle Yeoh
Guang Li

Rating : 5 (skala 1-5)

Sebuah film yang mengangkat tema tentang "kasih yang tidak mengenai perbedaan". Digambarkan dengan sangat baik lewat arahan Roger Spottiswoode yang juga menyutradarai "Tomorrow Never Dies" serta "Stop! Or My Mom Will Shot".

Menceritakan petualangan George Hogg (Jonathan Rhys-Meyers) seorang jurnalis Amerika yang meliput masuknya Jepang ke Cina di era Perang Dunia 2. Ketika ia hampir dieksekusi oleh Jepang, ia diselamatkan oleh seorang pemimpin perlawanan Cina yang bernama Chen Hansheng (diperankan dengan sangat baik oleh Chow Yun-Fat). Untuk menyelamatkan nyawa sang jurnalis agar dapat memberitakan kepada dunia luar mengenai kekejaman Jepang, maka Chen menyuruh George pergi menjauh dari area konflik. Chen mengirimnya ke sebuah panti asuhan anak-anak korban perang yang dikelola oleh seorang perawat bernama Lee Pearson (Radha Mitchell). Keberadaan George di panti asuhan tersebut pada awalnya tidak ditanggapi dengan baik para penghuni. Perlahan-lahan, dibantu Lee, George mampu merebut hati anak-anak. Sampai suatu ketika peperangan mulai mendekat ke lokasi panti asuhan dan George memutuskan untuk mengungsikan anak-anak itu. Ia meminta bantuan Chen untuk mengawal perjalanan tersebut. Dalam perjalanan itulah banyak hal terungkap mengenai cinta, tanggung jawab, dan keberanian.

Jonathan Rhys-Meyers (kita mungkin mengingatnya dalam Mission Impossible III dan August Rush) dan Radha Mitchell (Silent Hill) bermain sangat bagus. Sementara Chow Yun-Fat dan Michelle Yeoh walau tidak mendapat porsi bermain yang besar, tampak sangat menguasai "panggung". Chow Yun-Fat bermain seperti dalam film "Anna and The King" sementara Michelle Yeoh kembali tampil anggun seperti di "Memoirs of a Geisha". Untuk Yeoh, ini adalah kali kedua ia berperan di bawah arahan sutradara Roger Spottiswoode setelah dalam film "James Bond : Tomorrow Never Dies". Film ini sendiri adalah kolaborasi 3 negara yaitu Cina, Australia, dan Jerman.

Sunday, April 20, 2008

An Empress and The Warriors


An Empress and The Warriors

(Jiang shan mei ren) - 2008


Directed by : Tony Ching Siu Tung

Starring by :

Donnie Yen

Kelly Chen

Leon Lai


Genre : Action Drama


Rating : 3 (skala 1-5)



Pada saat melihat posternya, terlihat kalau film ini cukup serius dengan kostum yang sangat menarik. Setelah menonton selama 30 menit, tampaknya saya harus siap kecewa karena tidak seperti yang dibayangkan.


Film ini menceritakan mengenai seorang putri yang harus meneruskan pemerintahan ayahnya yang meninggal dibunuh pada saat perang. Sang pengkhianat yang merasa bahwa tahta kerajaan harusnya jatuh kepadanya, berencana membunuh sang putri. Ia mengirim pembunuh sewaan untuk melakukan tugas tersebut.

Usaha itu gagal karena sang putri, yang walaupun terluka, dapat diselamatkan oleh seseorang yang tinggal sebatang kara di dalam hutan. Sambil menunggu sembuh, sang putri pun berkenalan lebih jauh dengan penolongnya. Bahkan ia jatuh cinta kepada pemuda tersebut.

Tetapi, negara membutuhkan seorang pemimpin. Dan sang putri pun harus membuat keputusan bagi hidup dan negaranya.


Secara cerita, film ini mungkin tidak terlalu istimewa. Yang membuat ia jatuh, buat saya, adalah beberapa adegan yang saya rasa kurang pas atau tidak masuk akal. Mulai dari adegan penyerangan sang putri di sebuah danau (awalnya ia tampak memandikan seekor kuda. Dari ketinggian kuda, tampak danau tersebut dangkal. Tetapi ketika para pembunuh menceburkan diri ke danau tersebut, maka tiba-tiba danau menjadi dalam). Lalu berlanjut saat pengejaran sang putri di dalam hutan (Bagaimana mungkin kecepatan kuda dapat ditandingi oleh manusia? Lalu perangkap-perangkap yang ada mengingatkan saya pada film-film perang Vietnam).

Yang menyelamatkan film ini tidak lain tidak bukan adalah kostum dan perlengkapan lainnya yang cukup detail.

Walau pun sang sutradara pernah menjadi "action director" pada film "Dororo" (2007), tidak terlalu tampak pengaruhnya pada film ini. Mungkin memang karena unsur percintaannya lebih kental sehingga perkelahian kurang mendapat porsi yang besar. Yang pasti, daripada menonton di bioskop, lebih baik lewat dvd saja. Tapi siap-siap kecewa bagi mereka yang membeli dvd bajakan karena kualitas terjemahannya cukup buruk - baik terjemahan Indonesia atau pun Inggris.

Monday, March 24, 2008

Katyn

Genre : Drama History War

Directed by : Andrzej Wajda
Starring by :
Artur Zmijewski
Maja Ostaszewska
Andrzej Chyra
Danuta Stenka
Jan Englert

Rating : 5 (skala 1-5)

Bagi mereka yang tidak familiar dengan tema Perang Dunia ke 2, nama Katyn tentu sangat asing. Katyn adalah sebuah tempat berupa hutan di daerah Polandia dimana menjadi tempat kuburan massal bagi 20.000 tentara cadangan Polandia (dalam hal ini perwira dan para intelektual) yang dibunuh oleh NKVD Soviet.

Cerita yang diangkat adalah mengenai 4 orang tentara beserta keluarga mereka. Bagaimana keadaan para tentara itu sebelum dibunuh dan bagaimana keadaan keluarga mereka selama menanti janji pemerintah Soviet yang katanya akan membebaskan anggota keluarga mereka.
Alih-alih membebaskan, mereka mendapat kabar resmi dari pemerintah Soviet yang menyatakan bahwa para tentara telah dibunuh oleh Nazi Jerman di Hutan Katyn. Para anggota keluarga tentu tidak mempercayainya karena sepanjang pengetahuan mereka, para tentara itu ditawan oleh pemerintah Soviet. Dengan segala cara pemerintah Soviet yang menguasai Polandia mencoba agar mereka percaya. Di sinilah kita dapat melihat bagaimana keteguhan hati dari para anggota keluarga dan juga resiko yang harus mereka terima dari hal tersebut.

Untuk kualitas dvd, karena yang saya beli bukan original, ada beberapa kekurangan seperti beberapa dialog penting yang tidak diterjemahkan. Serta skip di beberapa adegan. Untuk kualitas gambar sendiri, sudah cukup tajam. Mungkin kalau ada pihak yang mau mendistribusikan dvd originalnya dengan harga terjangkau, cukup layak film ini dibeli. Apalagi kalau ada bonus berupa foto-foto asli atau klip film hitam putih yang dikeluarkan oleh Nazi Jerman. Sangat membantu pemahaman kita mengenai pembunuhan massal ini.

Setelah menonton film ini, satu hal yang teringat oleh saya adalah apa mungkin Indonesia dapat membuat film seperti ini dengan cerita yang diangkat adalah mengenai pengejaran anggota dan simpatisan PKI di gunung-gunung pasca 30 September 1965. Mungkin kalau bisa, film ini bisa jadi mendapat nominasi Oscar karena film Katyn pun demikian. Sayangnya, ia kalah dari The Counterfeiters yang dibuat oleh Austria.

Wednesday, March 12, 2008

3 Iron


Directed by : Kim Ki-duk

Starring by : Lee Seung Yeon
Jae Hae
Rating : 5 (skala 1-5)

Sebuah film yang dapat merubah paradigma kita tentang mencintai. Apabila kita sering melihat film percintaan yang mengumbar banyak kata, justru film ini dengan lantangnya berkata bahwa mencintai tidak butuh perkataan. Mencintai adalah tindakan. Dan memang cinta yang dilukiskan dalam film ini bukanlah cinta yang "biasa" serta dapat diurai dengan kata-kata indah, melainkan sebuah cinta yang dapat dikatakan tidak lazim dan memang lebih baik tidak dilukiskan secara verbal.
Film ini bercerita mengenai seorang pemuda yang dengan keahliannya dapat masuk ke rumah yang ditinggal penghuninya berlibur. Satu rumah berbeda setiap malam. Disana yang ia lakukan hanya "menumpang" tidur dan, uniknya, ia pun memperbaiki barang-barang rusak kepunyaan pemilik rumah.
Satu saat ia masuk ke dalam rumah seorang kaya yang tanpa ia sadari, istri pemilik rumah ternyata berada di rumah tersebut. Sang istri, yang baru saja mengalami kekerasan fisik dr sang suami, hanya dapat mengamati sang pemuda dari kejauhan. Sampai suatu ketika sang pemuda menyadari keberadaan sang istri dan dari sini lah mereka memulai interaksi non verbalnya. Sang suami yang ketika pulang mengetahui ada orang lain dalam rumahnya kontan menjadi marah. Ia mengusir sang pemuda dan tanpa disangka istrinya pun ikut pergi. Ini menimbulkan kemarahan luar biasa baginya. Ia pun mencari cara untuk dapat membalas dendam kepada sang pemuda.
Di tempat lain, sang pemuda dan sang istri berpetualang mencari rumah kosong yang dapat mereka jadikan tempat bermalam sehari-hari. Dalam petualangan minim dialog tersebut, muncul perasaan cinta antara keduanya. Sayangnya, petualangan mereka harus berakhir di suatu tempat. Polisi menahan sang pemuda karena masuk rumah orang tanpa izin sementara sang istri dikembalikan kepada suaminya karena dianggap korban penculikan. Di penjara sang pemuda bereksperimen terhadap dirinya. Ia berusaha menjadi seseorang yang tidak "terlihat". Dengan kemampuan ini, ia kembali menemui pasangannya dan mereka menemukan kembali cinta yang sempat hilang.

Untuk sebuah film drama romantis, 3 Iron bukanlah film yang mudah untuk ditonton karena dialog yang minim membuat jalan film ini seperti merangkak. Walau demikian, secara konsisten, grafik itu terus menanjak. Kesulitan di rumah kosong yang kedua pasangan itu alami juga menampakan peningkatan. Mulai dari tidak ada kesulitan sampai mereka menemui orang yang meninggal dunia. Uniknya, grafik itu mempunyai 2 puncak. Puncak pertama ketika mereka tertangkap dan puncak kedua, yang paling tinggi, ada di saat terakhir yang juga menjadi "memorable moment" film ini.


PS: Thanks to Bpk Ronny Tjandra dari Jive Production atas filmnya.

Once


Directed by : John Carney

Starring by : Glen Hansard
Marketa Irglova

Rating : 5 (skala 1-5)
Satu lagi film musikal yang membuat saya ingin menontonnya kembali. Cerita yang diangkat sangat sederhana tetapi memiliki pesan tersirat yang sangat dalam. Walau sampai akhir kita tidak mengetahui nama masing-masng tokoh utama, kita tetap dapat menikmati cerita dan terlebih lagu-lagu indah yang tersaji secara akustik.

Menceritakan pertemuan dua orang berbeda gender yang disatukan lewat musik dan lirik. Sang pria (Glen Hansard) mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan pertama adalah membantu ayahnya di toko reparasi vacuum cleaner sedangkan pekerjaan keduanya adalah pemusik jalanan. Sang wanita (Marketa Irglova) adalah imiran asal Ceko yang bekerja serabutan di siang hari dan merawat anak dan ibunya di malam hari.
Pertemua keduanya terjadi di jalanan kota Dublin ketika Hansard sedang "mengamen". Irglova yang tertarik mendengar lagu dan lirik yang dimainkan akhirnya membuka percakapan. Percakapan berlanjut dengan hal lainnya dan terungkaplah bahwa mereka memiliki persamaan yaitu sama-sama menuangkan perasaan lewat musik dan juga ternyata mereka sama-sama ditinggal oleh sang kekasih. Irglova lalu mendorong Hansard untuk membuat sebuah album demo musik yang bisa dipergunakan untuk mendapat kontrak dengan perusahaan rekaman di London. Sekaligus menyusul kekasihnya yang juga tinggal di kota yang sama.
Perjalanan membuat demo musik itu ternyata menyadarkan mereka akan arti cinta yang telah mereka miliki sekaligus membuka kisah cinta baru antar mereka yang tidak akan pernah berlanjut.
Untuk sebuah film dengan durasi 109 menit, apa yang disajikan sudah lebih dari cukup. Ia tidak membawa penonton memutar-mutar dalam konflik cinta tak kesampaian yang menghabiskan waktu tetapi mengalir begitu saja dan benar-benar membuat waktu yang sempit menjadi indah tanpa perlu ada konflik berlebih.
Lagu-lagu yang ada sangat berkesan apalagi disajikan dengan teknik akustik sehingga sangat membawa suasana. Dan tentunya tidak berlebihan apabila salah satu lagunya mendapat Oscar untuk kategori lagu terbaik dalam sebuah film.

Tuesday, February 26, 2008

Academy Award 2008

Academy Awards, USA: 2008

Best Motion Picture of the Year Winner: No Country for Old Men (2007) -
Ethan Coen, Joel Coen, Scott Rudin

Best Achievement in Directing Winner: Ethan Coen, Joel Coen for No Country for Old Men (2007)

Best Performance by an Actor in a Leading Role Winner: Daniel Day-Lewis for There Will Be Blood (2007)

Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen Winner: Juno (2007) - Diablo Cody

Best Documentary, Features Winner: Taxi to the Dark Side (2007) - Alex Gibney, Eva Orner

Best Documentary, Short Subjects Winner: Freeheld (2007) - Cynthia Wade, Vanessa Roth

Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score Winner: Atonement (2007) - Dario Marianelli

Best Achievement in Cinematography Winner: There Will Be Blood (2007) - Robert Elswit

Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Song Winner: Once (2006) - Glen Hansard, Markéta Irglová(“Falling Slowly” )

Best Foreign Language Film of the Year Winner: Fälscher, Die (2007)(Austria)

Best Achievement in Editing Winner: The Bourne Ultimatum (2007) - Christopher Rouse

Best Performance by an Actress in a Leading Role Winner: Marion Cotillard for Môme, La (2007)

Best Achievement in Sound Winner: The Bourne Ultimatum (2007) - Scott Millan, David Parker, Kirk Francis

Best Achievement in Sound Editing Winner: The Bourne Ultimatum (2007) - Karen M. Baker, Per Hallberg

Best Writing, Screenplay Based on Material Previously Produced or Published Winner: No Country for Old Men (2007) - Joel Coen, Ethan Coen

Best Performance by an Actress in a Supporting Role Winner: Tilda Swinton for Michael Clayton (2007)

Best Short Film, Animated Winner: Peter & the Wolf (2006) - Suzie Templeton, Hugh Welchman

Best Short Film, Live Action Winner: Mozart des pickpockets, Le (2006) - Philippe Pollet-Villard

Best Performance by an Actor in a Supporting Role Winner: Javier Bardem for No Country for Old Men (2007)

Best Achievement in Art Direction Winner: Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street (2007) - Dante Ferretti, Francesca Lo Schiavo

Best Achievement in Visual Effects Winner: The Golden Compass (2007) - Michael L. Fink, Bill Westenhofer, Ben Morris, Trevor Wood

Best Achievement in Makeup Winner: Môme, La (2007) - Didier Lavergne, Jan Archibald

Best Animated Feature Film of the Year Winner: Ratatouille (2007) - Brad Bird

Best Achievement in Costume Design Winner: Elizabeth: The Golden Age (2007) - Alexandra Byrne

Saturday, February 16, 2008

The Hunting Party

Directed by : Richard Sephard
Starring by :
Richard Gere
Terrence Howard
Jesse Eisenberg

Rating : 5 (skala 1-5)

Film sindiran yang sangat menarik. Mungkin sealiran dengan film Michael Moore, tetapi lebih halus walau pada ujungnya tetap menyindir pihak-pihak tertentu.

Bercerita tentang sepasang jurnalis khusus area konfilk dengan setting pada era konflik Serbia Bosnia. Sang reporter bernama Simon Hunt (Richard Gere) dengan cameraman Duck (Terrence Howard) menjelajah ke berbagai area konflik sampai pada satu area aman milik PBB dimana terjadi pembantaian warga Bosnia oleh tentara Serbia. Kejadian tersebut membuat Hunt begitu membenci sang komandan pembunuh sampai ia memutuskan untuk keluar dari jaringan tv-nya dan menjadi jurnalis bebas. Persahabatan Hunt dan Duck akhirnya terputus sampai satu saat ketika Duck ditugaskan kembali ke Bosnia dengan ditemani jurnalis junior bernama Benjamin (Jessie Eisenberg). Hunt diam-diam kembali menemui Duck. Ia meminta Duck mau menjadi cameramannya kembali untuk meliput “The Fox”. The Fox sendiri adalah seorang penjahat perang yang dicari oleh Amerika dan PBB; dan juga ternyata adalah sang komandan pembunuh yang dibenci oleh Hunt.
Lewat berbagai cara, akhirnya mereka mendapatkan petunjuk penting tentang persembunyian Fox. Tetapi usaha mereka tidak mendapat dukungan PBB dan Amerika. Bahkan tampak kedua institusi tersebut tidak mau Hunt, Duck, dan Benjamin mencapai lokasi persembunyian Fox. Dan ketika mereka akhirnya bertemu (dalam artian ditawan) Fox, CIA lalu membebaskan mereka dan juga tidak menangkap Fox dan kawanannya.
Sebenarnya film ini bisa berhenti di sini. Tetapi sang sutradara tidak membiarkan ending yang menggantung. Yang jahat harus jelas nasibnya (jadi ingat film Pearl Harbour dimana film ditutup dengan adegan “pembalasan dendam” Amerika ke Jepang). Fox akhirnya berhasil mereka bekuk dan dilepaskan di kota tempat ia membunuh etnis Bosnia. Dan film ditutup dengan wajah Fox yang dikejar-kejar oleh warga.

Di akhir film, ada narasi-narasi menarik. Salah satunya adalah sindiran kepada Amerika dan PBB yang tidak dapat menangkap sang penjahat perang sementara, tanpa senjata, 3 orang jurnalis dapat menangkapnya.

Saturday, February 9, 2008

Assembly

Directed by : Xiaogang Feng
Starring by :
Chao Deng
Heng Fu
Jun Hu
Phil Jones

Rating : 5 (skala 1-5)

Sebuah film perang Asia yang layak dikoleksi. Walau terasa ada rasa Holywood pada cara pengambilan gambar dan nuansa yang disajikan, tetapi film yang diangkat dari cerita nyata ini tetap tidak kehilangan gaya bercerita ala Asia yang kadangkala sangat detail dan tidak meninggalkan ending yang menggantung.

Inti film ini adalah mengenai seorang komandan di pasukan People Liberation Army. Saat terjadi perang saudara antara golongan Komunis dengan Nasionalis, Kapten Gu Zidi memimpin sebuah kompi pasukan. Penugasan demi penugasan ia lalui sampai akhirnya ia dan sisa pasukannya diperintahkan untuk menahan laju pasukan Nasionalis di sebuah daerah. Mereka tidak diizinkan pergi dari tempat bertahan tersebut sampai ada bunyi trompet yang memanggil mereka untuk mundur dan berkumpul dengan pasukan induk.
Karena kekurangan personel dan persenjataan, pasukan penahan ini akhirnya tersapu bersih oleh kaum Nasionalis dan sang kapten adalah satu-satunya yang selamat.
Film lalu dipotong dengan narasi bagaimana sang kapten justru menjadi tawanan perang dari tentara komunis karena pada saat ia ditemukan, ia memakai seragam musuh. Walau sudah mencoba untuk menjelaskan kepada banyak orang, tidak ada yang mempercayai ceritanya; apalagi ternyata saat itu banyak batalion yang telah berganti nama atau digabung dengan batalion lain. Ditambah dengan tidak adanya saksi mata yang dapat menguatkan ceritanya, akhirnya sang kapten hanya dapat berkata-kata tanpa bukti.
Untung ia bertemu dengan seorang komandan dari divisi artileri. Singkat kata, komandan inilah yang akhirnya membantu sang kapten untuk menemukan mantan anggota satuannya. Lewat berbagai peristiwa akhirnya secara resmi pemerintah Cina mengakui jasa-jasa para anggota pasukan tersebut dan menganugerahi mereka semua gelar pahlawan serta bintang tanda jasa.

Film ini sangat menarik karena mengangkat cerita yang jarang diungkapkan di film Cina yaitu perang saudara antara kaum Nasionalis dan Komunis. Kalau mau membandingkan, mungkin film yang sedikit mirip adalah Taegukgi yang mengangkat cerita perang saudara di Korea. Hanya Assembly lebih panjang dalam bercerita sehingga keseluruhan cerita sang Kapten dapat kita ketahui. Permainan akting para aktor sangat menawan. Kostum juga sangat detail dan tampak perbedaan antara tentara komunis yang "sederhana" dengan nasionalis yang "lebih bagus". Jadi, jangan lewatkan film yang satu ini.

Thursday, February 7, 2008

Golden Globe 2007

Babel Film Terbaik
Rabu, 17 Januari 2007 | 15:38 WIB

TEMPO Interaktif, Los Angeles:Film Babel dinyatakan sebagai film drama terbaik dalam ajang Golden Globe 2007 yang digelar kemarin. Sedangkan Forest Whitaker dan Helen Mirren dinyatakan sebagai aktor dan aktris terbaik untuk kategori drama. Mereka bermain sempurna untuk film The Last King of Scotland dan The Queen.

Untuk kategori musikal atau komedi, film Dreamgirls meraih posisi terhormat sebagai film terbaik. Sedangkan Sacha Baron Cohen dan Meryl Streep dinyatakan sebagai aktor dan aktris terbaik untuk kategori musikal atau komedi. Mereka bermain dalam Borat dan The Devil Wears Prada.

Adapun Martin Scorsese menggaet penghargaan sebagai sutradara terbaik lewat film The Departed. Tahun ini, penghargaan untuk kategori baru, yakni film animasi, jatuh pada film Cars. Penghargaan Golden Globe yang menjadi barometer penghargaan Oscar (Academy Award) adalah penghargaan yang diberikan Asosiasi Pers Asing Hollywood.

bbc | nur hidayat

Saturday, February 2, 2008

Rambo 4 - Pearl of the Cobra

Directed by : Peter Berg
Starring by :
Sylvester Stallone

Rating : 5 (skala 1-5)

This is Rambo! Memenuhi segala kerinduan akan sebuah film klasik pertempuran di hutan tropis. Tidak ketinggalan panah dan senapan mesin berkaliber besar yang dipakai untuk menerjang musuh. Selain itu juga ada dialog dalam bahasa Asia dan orang Asia yang berbicara dalam Bahasa Inggris dengan aksen lucu.

John Rambo ternyata tidak kembali ke Amerika. Ia tetap tinggal di Asia dan menjalani kehidupan sebagai penangkap ular. Ketika sekelompok pekerja kemanusiaan hendak menyewa jasanya untuk masuk ke Myanmar yang sedang bergejolak, ia sempat menolak. Tetapi karena permintaan seorang wanita dalam rombongan tersebut, ia pun mau mengantarkan mereka memasuki Myanmar dengan perahunya. Sesuai perjanjian, Rambo hanya mengantar mereka dan ia pun kembali segera setelah mendaratkan rombongan di sebuah tempat. Tanpa sepengetahuannya, ternyata kelompok tersebut ditahan tentara pemerintah dan dijadikan sandera. Rambo baru mengetahui berita tersebut ketika pemimpin kelompok yang khusus datang dari Amerika menemuinya. Ia meminta Rambo untuk mengantar tim pencari berisi tentara bayaran ke lokasi pendaratan di Myanmar. Dan selanjutnya, tentu bisa ditebak oleh mereka yang tidak pernah ketinggalan film-film Rambo karena pola yang dipakai masih sama.

Satu hal unik yang patut dicatat adalah film ini tidak terjebak dalam euphoria teroris "Timur Tengah" seperti beberapa film perang belakangan. Justru film ini mengingatkan kita bahwa kekerasan masih ada di bagian dunia yang lain dimana pemerintah justru meneror warganya sendiri. Sebuah pilihan musuh yang sangat cerdas mengingat sampai sekarang masih sangat sedikit, kalau tidak mau dikatakan tidak ada, film yang mengangkat peristiwa-peristiwa kejahatan pemerintah di Myanmar.
Selain itu, secara teknik pertempuran dan cipratan darah, Rambo 4 dapat dikatakan lebih baik dimana ia mengadopsi adegan perang pantai "Saving Private Ryan". Kalau dulu darah tidak terlalu diekspose, sekarang bukan jamannya lagi. Bagian tubuh yang meledak atau hancur diterjang peluru menjadi menu rutin di semua adegan pertempuran. Dan tetap, Rambo adalah Rambo. Walau musuh hancur lebur, Rambo hanya boleh berkeringat dengan sedikit torehan atau bekas luka mengering. Sayangnya adegan Stallone mengikat kepala dengan kain yang menjadi ciri khasnya tidak tampak karena sedari awal ia sudah mengenakan ikat kepala.

Shoot 'em Up

Directed by : J. Michael Davis
Starring by :
Clive Owen
Paul Giamatti
Monica Bellucci

Rating : 3 (skala 1-5)

Satu kata. Wow!!!
Sebuah film yang dipenuhi adegan tembak menembak. Saking penuhnya, dalam 15 menit pertama sudah tidak terhitung korban yang jatuh akibat peluru aktor utama. Kalau mau dibandingkan dengan "The Kingdom" atau tetralogi "Die Hard", film ini lebih vulgar dalam mengekspose darah. Beberapa korban jatuh dengan tembakan headshot yang digambarkan cukup lugas. Selain itu juga tampak potongan anggota badan yang terlepas yang mengingatkan kita pada adegan pembukaan perang pantai di "Saving Private Ryan".

Film ini menceritakan tentang seorang jago tembak bernama Smith (Clive Owen) yang terjebak dalam perburuan seorang wanita dan bayi yang baru dilahirkannya dengan gerombolan penjahat yang dipimpin oleh Paul Giamati. Walau sang ibu akhirnya terbunuh, cerita tidak berakhir begitu saja karena Smith harus menyelamatkan sang bayi. Untuk itu ia meminta bantuan Monica Belluci karena sang penjahat tidak mau menyerah sampai titik darah penghabisan. Dan ending film ini tentu saja klasik dimana kebaikan menang atas kejahatan.

Untuk peran, Clive Owen dan Paul Giamatti patut diacungi jempol. Sementara untuk Monica Belluci, sangat standard. Dia pernah lebih baik saat berperan dalam "Malena" dan "Combien tu m'aimes?". Yang jadi point plus adalah dialog Belluci yang sebagian memakai Bahasa Itali dan tampak sangat cocok dengannya. Sementara untuk filmnya sendiri bagi saya terlalu berlebihan. Ini alasan saya memberikan hanya 3 bintang walau sebenarnya secara aksi patut diganjar 5 bintang. Berlebihannya film ini tampak pada saat Owen mencari tempat berlindung bagi Belluci dan bayinya. Bukan rumah atau sesuatu yang umum, melainkan sebuah tank di museum. Lalu yang lain adalah saat Owen ber"perang" dalam gudang senjata. Terlalu banyak jebakan yang ia siapkan dalam waktu yang singkat.
Untungnya Owen masih terluka dalam film ini. Kalau tidak, mungkin film ini akan mirip film-film Steven Seagal dimana hanya penjahat yang "hancur" sementara sang jagoan cukup lecet saja.

Saturday, January 26, 2008

The Kingdom

Directed by : Peter Berg
Starring by :
Jamie Foxx
Chris Cooper
Jennifer Garner

Rating : 5 (skala 1-5)

Singkat, padat, dan lugas. Sebuah film action yang tidak rumit, cukup mendebarkan dan penuh dengan adegan khas action seperti pengejaran dengan mobil dan tembak menembak dalam jarak dekat. Sekali lagi Jamie Foxx terlihat cerdas sekaligus piawai memainkan senjata. Sayangnya Jennifer Garner tidak terlalu menonjol padahal di "Elektra" dia cukup bagus memainkan perannya.

Film ini menceritakan sebuah tim penyelidik dari FBI yang pergi ke Saudi Arabia untuk menyelidiki sebuah insiden penyerangan warga sipil di sebuah perumahan perusahaan minyak milik Amerika. Insiden ini memakan banyak korban jiwa termasuk agen FBI yang ditugaskan di sana. Celakanya, polisi Saudi diduga terlibat karena penyerang menyamar dalam seragam kepolisian.
Tim yang diketuai Ronald Fleury (Foxx) sebenarnya tidak direstui secara penuh oleh pemerintah Amerika. Tetapi berkat kepiawaiannya "bernegosiasi", mereka mendapat izin selama beberapa hari untuk menyelidiki peristiwa itu langsung di tempat kejadian. Dengan dibantu kepala kepolisian setempat dan dalam jangka waktu yang sedikit tersebut mereka dapat menghabisi pemimpin penyerangan yang memang telah menjadi target pemerintah Amerika sejak lama.

Tag yang diusung film ini: Under fire, under pressure, out of time sangat pas dengan adegan keseluruhan. Walau tidak seheboh "Die Hard" atau "Speed", film ini sangat mengasyikkan untuk ditonton. Yang agak menyebalkan ibukota negara kita, Jakarta, di cap negatif. Salah satu cara "bernegosiasi" Foxx dengan Duta Besar Arab Saudi adalah dengan menyatakan bahwa ia mengetahui ada aliran dana dari pejabat Arab Saudi untuk perkumpulan di Amerika yang mengalir ke Jakarta. Tampaknya image Indonesia yang secara umum di sana adalah sarang teroris sehingga dengan mengalirkan dana ke Jakarta dianggap membantu teroris. Huh, menyebalkan!

The Bucket List

Directed by : Rob Reiner
Starring by :
Jack Nicholson
Morgan Freeman

Rating : 5 (skala 1-5)

Luar biasa! Sebuah film yang menggabungkan 2 karakter kuat tanpa meniadakan satu sama lain. Kelembutan Morgan Freeman dapat terimbangi dengan emosi meledak-ledak khas Jack Nicholson.
Dan sepertinya film ini memang dibuat sebagai panggung adu akting dua aktor kawakan ini. Kehadiran tokoh lain seperti hanya menjadi pelengkap tapi tidak bisa ditiadakan karena justru mereka lah yang menjadi perekat antar adegan.

Film ini mengangkat cerita tentang dua orang dari kelas sosial yang berbeda tetapi memiliki persamaan yaitu mengidap kanker dan divonis akan meninggal dalam jangka waktu tertentu. Salah seorang diantara kedua orang tersebut yang bernama Carter Chambers (Morgan Freeman), seorang montir mobil, menulis sebuah daftar tindakan yang belum ia lakukan selama hidup; mulai dari membalap dengan mobil impiannya sampai dengan melakukan sesuatu dengan seorang wanita cantik. Teman sekamar Chambers, bernama Edward Cole (Jack Nicholson) - seorang kaya pemilik jaringan rumah sakit, secara tidak sengaja membaca daftar tersebut dan menantang Chambers untuk melakukan hal yang lebih gila lagi. Walau awalnya Chambers menolak, akhirnya mereka menjadikan daftar tersebut sebagai daftar yang harus mereka lakukan bersama-sama. Usaha mereka pada awalnya mendapat tantangan dari istri Chambers. Tetapi Chamber bergeming dan tetap melanjutkan perjalanan berkeliling dunia bersama Cole.

Film yang sarat pesan moral ini begitu mengalir sehingga emosi kita dapat terlarut bersama rangkaian dialog cerdas yang terlontar. Di film ini sepertinya setting tidak terlalu penting karena karakter bintang utama sudah sangat kuat. Sayangnya ada beberapa detail yang mengganggu seperti Taj Mahal yang tampak seperti rekayasa komputer dan beberapa bloopers yang kasat mata. Satu hal yang menarik, Indonesia diperkenalkan secara positif lewat Kopi Luwak Sumatra. Jack Nicholson bahkan rela membawa seperangkat alat pembuat kopinya ke rumah sakit demi menikmati kopi tersebut.

Tuesday, January 22, 2008

Protecting The King

Directed by : D. Edward Stanley
Starring :
Matt Bar
Peter Dobson
Tom Sizemore
Brian Krause

Rating : 3 (skala 1-5)

Cerita yang diangkat film ini sebenarnya cukup menarik. Tetapi entah karena apa, film ini tidak sepenuhnya enak untuk dinikmati. Grafik emosi cenderung mendatar tanpa ada letupan-letupan yang dapat membuat film lebih berirama. Sedikit letupan justru ada di dekat akhir film yang sayangnya tidak terlalu berpengaruh lagi.

Film ini bercerita tentang perjalanan seorang anak muda bernama David Stanley. Karena pernikahan ibunya dengan ayah Elvis, maka ia menjadi adik tiri Sang Raja Rock N Roll. Karena itu, ia mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam Tur Amerika Elvis. Di sini kita akan melihat Elvis dan orang-orang disekitarnya dari sisi belakang layar. Bagaimana kehidupan para pendukung Elvis termasuk para bodyguardnya. Karena kejenuhan mulai menghampiri lalu ada beberapa kejadian, David pun memilih keluar dari tour tersebut. Dalam masa jeda itu, ia bertemu dengan seorang perempuan yang akhirnya ia nikahi.
Setelah beberapa waktu berlalu, Elvis menawari David pekerjaan sebagai bodyguardnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi David untuk memberi jawaban. Tetapi ternyata keadaan sudah berubah. Elvis semakin tergantung dengan narkotika dan orang-orang di sekitarnya tidak ada yang berani memperingatkannya. David pun terpengaruh dengan keadaan tersebut sampai akhirnya ia dan istrinya pun bercerai. Akhir film ditutup dengan saat-saat terakhir kematian Elvis dimana David menjadi salah satu saksi matanya.

Buat gue, film ini bisa menarik kalau hanya menceritakan kehidupan Elvis di belakang panggung saja. Mungkin bisa jadi mirip rockumentary Rocco and The Burden dalam film "I Trust You To Kill Me". Tapi, semenjak produsen, penulis, dan sutradara film ini adalah David Stanley sendiri, tentu saja kisah kehidupannya lebih diutamakan. Dan sayangnya, kurang begitu asyik untuk ditonton.

Sunday, January 20, 2008

The Warlords

www.thewarlords.com

Directed by : Peter Chan
Starring :
Jet Li
Andy Lau
Takeshi Kaneshiro

Rating : 3,5 (skala 1-5)

Film yang agak membingungkan untuk dirating. Para aktor bermain cukup baik (apalagi Takeshi Kaneshiro tampak cukup bisa mengimbangi Jet Li dan Andy Lau). Tapi cerita yang diangkat terlalu sederhana. Intrik-intrik sebagai bumbu penyedap terasa kurang diolah dengan baik dan sepertinya hanya ada sebagai pelengkap agar ada alasan untuk ending film. Kalau dibandingkan dengan Curse of The Golden Flower, film ini tampak hanya "separuh"nya.
Bahkan "Hero" yang juga dibintangi Jet Li masih lebih baik.

Menceritakan tentang persahabatan 3 orang bernama Ma Xinyi(Jet Li), Cao Erhu (Andy Lau), dan Zhang Wenxiang (Takeshi Kaneshiro). Ma adalah mantan tentara. Sedangkan Cao adalah pemimpin sekelompok bandit sementara Zhang adalah letnannya. Pertemuan Ma dengan Cao dan Zhang merubah status mereka dari bandit menjadi tentara pemerintah. Uniknya upah mereka bukanlah gaji tetapi sepersekian kekayaan dari kota yang mereka perangi. Kemenangan demi kemenangan diraih sampai akhirnya Ma menjadi jendral. Sementara itu, antar mereka pun ada intrik-intrik dimana Ma jatuh cinta pada istri Cao. Walau Zhang mengetahuinya, ia tidak langsung berbicara pada Cao sampai akhirnya Cao mati di tangan suruhan Ma. Zhang yang dendam menghadang Ma; sementara secara diam-diam ada pihak lain yang memanfaatkan situasi tersebut untuk menghabisi Ma.

Dilihat dari sisi action, film ini kurang terasa geregetnya walau penuh adegan perang. Konflik dan intrik yang ingin ditonjolkon tampak kurang "kuat". Mungkin ekspektasi berlebihan karena taburan bintang agak mengacaukan penilaian ini. Yang pasti, film ini tidak menimbulkan kesan mendalam setelah ditonton.

Thursday, January 3, 2008

Stranger than Fiction

www.strangerthanfiction.com

Directed by : Marc Forster
Starring :
Will Ferrell
Maggie Gyllenhaal
Dustin Hoffman
Queen Latifah
Emma Thompson

Rating : 4 (skala 1-5)

Apa jadinya kalau sebuah novel ternyata adalah sebuah kenyataan? Tentu saja yang sang pengarang akan terkejut. Apalagi kalau novel tersebut berakhir dengan sebuah tragedi.

Film ini bercerita tentang seseorang bernama Harold Crick (diperankan Will Ferrell) seorang petugas pajak dengan kehidupan yang penuh rutinitas dan tanpa "warna". Di sisi lain diceritakan mengenai kehidupan seorang pengarang bernama Karen Eiffel (Emma Thompsom), yang selalu membunuh karakter utama novelnya, sedang mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan novel masterpiecenya.
Isi film ini dimulai ketika Harold mulai mendengar suara seorang wanita bernarasi tentang kehidupannya. Penasaran dengan suara tersebut, ia pun berusaha mencari penyebab dan asal suara. Pencarian itu mengantarnya bertemu Professor Jules Hilbert (Dustin Hoffman). Lewat Professor Hilbert lah Harold mengetahui bahwa narator tersebut adalah novelis Karen Eiffel dan ia adalah tokoh utama dari novel masterpiece yang sedang dikarang Eiffel. Dan karena novel-novel Eiffell terkenal dengan kematian tokoh utamanya, Harold pun mencari cara supaya ia tidak "terbunuh".

Untuk sebuah film drama, film ini sangat bagus. Sarat dengan pesan tersirat, penggambaran yang cukup detail, ilustrasi grafis yang menarik, dan tidak menguras air mata walau ada sedikit bumbu tragis. Sedikit disayangkan pada bagian akhir, agak sedikit membosankan dan ada kesan cerita dipanjang-panjangkan agar ada happy ending. Permainan acting Will Ferrell dan Dustin Hoffman cukup bagus di film ini. Sementara Maggie Gyllenhaal, Emma Thompson, dan Queen Latifah tidak terlalu istimewa. Satu hal yang terpikir oleh saya adalah bagaimana kalau Will Ferrell diganti dengan Nicholas Cage. Kalau Cage bisa bermain seperti dalam "Adaptation", tampaknya film ini akan lebih menguras air mata lagi.

Wednesday, January 2, 2008

Atonement

www.Atonement.com

Directed by : Joe Wright
Starring :
James McAvoy
Keira Knightley
Saoirse Ronan
Brenda Blethyn
Vanessa Redgrave
Charlie Von Simson

Rating : 3,5 (skala 1-5)

Sebuah film drama dengan ending yang cukup mengharukan. Walau tampak seperti film drama biasa, gaya berceritanya tidak seperti film kebanyakan. Penggambarannya mirip dengan novel yang mempunyai beberapa karakter utama. Bahkan dapat dikatakan inilah versi drama romantis dari "Pulp Fiction" atau "Sin City".

Menceritakan tentang sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan akibat perbedaan kelas dan usia. Seorang anak remaja bangsawan yang mempunyai bakat sebagai penulis bernama Briony Tallis jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Robbie Turner yang bekerja menjadi pelayan di rumahnya. Tetapi apa daya, sang pemuda jatuh cinta pada kakaknya Briony yang bernama Cecilia karena kesetaraan usia. Lewat sebuah kejadian, sang pemuda harus masuk penjara akibat keterangan palsu yang dibuat oleh Briony. Akibatnya Robbie harus berpisah dengan Cecilia dan akhirnya keduanya meninggal dunia akibat Perang Dunia 2 di tempat yang berbeda. Sementara Briony hidup sampai masa tuanya dalam perasaan bersalah dan akhirnya mengarang akhir cerita cinta tersebut menjadi sebuah akhir yang indah. Cerita itu menjadi novel terakhirnya karena Briony mengidap sebuah penyakit yang membuat kemampuan menulisnya berkurang.

Walau James McAvoy dan Keira Knightley tampil sebagai pemeran utama, film ini justru mengenai Briony yang diperankan Saoirse Ronan. Briony kecil tampak diperankan dengan sangat baik. Agak disayangkan adalah cara bercerita gaya novel yang kadang agak membingungkan. Ditambah dengan dialog dalam aksen Inggris yang kurang begitu jelas di telinga, saya sarankan menonton dvd aslinya saja.