Tuesday, September 30, 2008

Death Defying Act (2007)


Australian Film Finance Corporation (AFFC)
Genre : Drama
Durasi : 97 menit
Sutradara : Gillian Armstrong
Pemain :
Catherine Zeta-Jones sebagai Mary McGarvie
Guy Pearce sebagai Harry Houdini
Saoirse Ronan sebagai Benji McGarvie
Penghargaan :
Teen Choice Award 2008 – memenangkan Teen Choice Award untuk kategori “Choice Summer Movie: Comedy”
Rating : PG (USA) untuk sensualitas, kekerasan verbal dan fisik, dan merokok
Tanggal Rilis : 13 Maret 2008 (Australia)
Layak Tonton : 3 (dalam skala 1 – 5)

Apa yang menarik dari film ini? Buat saya, hal pertama adalah Catherine Zeta-Jones yang terakhir saya lihat berakting dalam “The Legend of Zorro” (2004). Yang kedua adalah film ini mengangkat cerita lain dari Harry Houdini. Selain itu? Agak susah mencari alasan mengapa saya mau menonton film ini untuk kedua kalinya.
Film yang disutradarai oleh sutradara wanita asal Australia ini memang cukup mengalir. Tetapi di beberapa adegan, ada grafik stagnan yang dapat membuat kita merasa kursi bioskop lebih nyaman dinikmati dengan mata terpejam (bahkan kecantikan Catherine tidak dapat mengalahkan paduan kursi yang empuk dan ac yang dingin).

Walau demikian, cerita mengenai kehidupan pesulap memang selalu menarik perhatian saya. Kali ini Harry Houdini, sang master melarikan diri, mencari kata terakhir yang diucapkan ibunya sewaktu meninggal. Hal ini dilakukannya karena pada saat itu Houdini tidak dapat mendampingi ibunya menjemput maut. Dengan menawarkan sejumlah uang, ia menantang para ahli supranatural untuk dapat menguak rahasia tersebut. Alih-alih berhasil, usaha para ahli itu malah menjadi bumerang bagi mereka. Houdini berhasil memecahkan trik yang dipakai para “dukun” dan itu membuatnya bertambah apatis. Dalam perjalan terakhir Houdini, Mary McGarvie dan Benji mencoba menemuinya. Mereka menyatakan dapat membantu Houdini mencari kata terakhir sang ibu sekaligus memenangkan hadiah uang yang telah dijanjikan.
Apakah ibu dan anak itu berhasil membantu Houdini? Film yang tidak terlalu panjang ini menyuguhkan ending yang cukup mengejutkan dan sayang kalau kita tertidur dan melewatkannya.

Kalau boleh membandingkan, saya langsung teringat pada film “The Prestige” (2006) yang dibintangi Hugh Jackman dan Christian Bale dengan durasi lebih panjang 33 menit. Bagi saya, pertempuran 2 orang pesulap yang dilandasi balas dendam lebih menarik daripada bumbu percintaan. Atau, mungkinkah karena “The Prestige” punya landasan yang “kuat”? “The Prestige” adalah hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya penulis Inggris Christopher Priest. Novel terbitan tahun 1995 ini sendiri mendapat “James Tait Black Memorial Prize” untuk fiksi terbaik serta novel terbaik dari “World Fantasy Award”. ….mmmm…. sepertinya alasan pertama lebih masuk akal.

Get Smart (2008)

Warner Bros Pictures
Genre : Komedi Aksi
Durasi : 110 menit
Sutradara : Peter Segal
Pemain :
Steve Carell sebagai Maxwell Smart
Anne Hathaway sebagai Agent 99
Dwayne Johnson sebagai Agent 23
Penghargaan :
Teen Choice Award 2008 – memenangkan Teen Choice Award untuk kategori “Choice Summer Movie: Comedy”
Rating : PG-13 (USA) untuk humor yang kasar dan kekerasan fisik serta verbal.
Tanggal Rilis : 19 Juni 2008
Layak Tonton : 3 (dalam skala 1 – 5)

Melihat dari poster yang dirilis, pikiran saya langsung terbayang kelucuan Rowan Atkinskon dalam film “Johnny English” (2003) atau Leslie Nielsen dalam “Naked Gun”. Tetapi apa yang saya dapatkan ternyata tidak demikian. Film ini adalah sebuah komedi yang tidak terlalu mengumbar kelakuan konyol dimana-mana. Beberapa hal yang lucu justru didapat dari permainan dialog antar pemain. Bisa dikatakan inilah film “plesetan cerdas” dari genre spy movie.
Film yang merupakan re-make dari serial tv dengan judul yang sama ini sebenarnya bukanlah yang pertama mencoba mengikut sukses serial pertamanya. Tercatat sebelum film ini ada versi theater yang berjudul “The Nude Bomb” (1980) dan film untuk tv “Get Smart, Again” (1989). Dari dua judul di atas, yang cukup berhasil adalah “Get Smart, Again”. Bahkan Fox TV mencoba membuat serial dengan judul “Get Smart” di tahun 1995 untuk mengikuti kesuksesan itu. Sayangnya serial tersebut tidak berumur panjang. Karena itu dapat dibayangkan film ini “menanggung” beban yang cukup berat. Grafik naik turun animo penonton bisa saja membuat film ini tidak laku di pasaran. Untungnya dari penghargaan yang ia dapat dalam Teen Choice Award, film ini dapat diterima publik dan bahkan direkomendasikan untuk ditonton. Karena itu tidak heran kalau kita dapat menyaksikan spin-off dari film ini yang berjudul “Get Smart’s Bruce and Lloyd: Out of Control”.

Kesuksesan “Get Smart” tidak terlepas dari tangan dingin sang sutradara. Peter Segal adalah sutradara yang kerap menangani film jenis ini. Kita bisa lihat hasil karyanya dalam “Naked Gun 33 1/3” The Final Insult” (2004) dan “Nutty Professor II: The Klumps” (2000). Selain itu ia juga menyutradarai “Anger Management” (2003).
Akting Steve Carell juga cukup dingin sehingga kesan tokoh agen rahasia cukup sukses dijalankannya (sekali lagi seperti Rowan Atkinson atau Leslie Nielsen dalam film-filmnya). Berbeda saat ia memerankan Evan Baxter dalam “Evan Almighty” (2007) yang cenderung mengeksplor emosinya, dalam film ini ia harus tampil selalu rapi dengan jas dan sedikit kaku. Sementara Anne Hathaway cukup luwes dalam mengimbangi peran Steve Carell walau ia lebih banyak bermain dalam film drama seperti “Brokeback Mountain” (2005) atau “The Devil Wears Prada” (2006).
Secara keseluruhan, film ini memang layak untuk ditonton. Bagi mereka yang mengoleksi “Naked Gun” dan “Johnny English” tentu saja “Get Smart” harus ditambahkan dalam lemari koleksi. Sayangnya ada sedikit adegan yang cukup mengganggu saya yaitu saat Carell dan Hathaway harus melintasi ruangan penuh jebakan laser. Cara mereka melewatinya sangat mirip dengan adegan Catherine Zeta Jones dalam film “Entrapment” (1999).